Hari Asyuro adalah hari ke-10 dari bulan Muharram. Bulan Muharram termasuk empat bulan mulia yang tidak diperkenankan berperang dan menumpahkan darah di dalamnya. Ia secara khusus disebut Syahrullah (bulannya Allah) Al-Asham (yang tuli), karena di bulan itu tidak didengar dentingan senjata.

Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam penanggalan Hijriyah. Menurut Ibnu Jauzi, hal ini karena di dalam bulan itu terdapat hari Asyuro. Hari Asyuro bagi ummat Islam adalah hari yang sangat monumental. Menurut keterangan Dr. As-Sayyid Muhammad Alaqi Al-Maliki dengan sandaran yang jelas, hari itu:  

Hari Asyuro secara formal perlu diadakan untuk mengingatkan umat akan hari-hari yang dimuliakan oleh Allah SWT. Atas dasar inilah khalifah adil Dinasti Umayyiah Umar bin Abdul Azis (99-102 H) memerintahkan agar masyarakat pada hari Asyuro berkumpul di surau-surau atau masjid-masjid untuk beristighfar memohon ampunan kepada Allah SWT.

Amalan utama untuk memperingati peristiwa-peristiwa besar tersebut menurut Nabi Muhammad SAW adalah berpuasa. Puasa Asyuro menurut beliau bernilai menghapus dosa (baca: dosa kecil) setahun yang telah berlalu. Keutamaan puasa Asyura’ menjadi sangat jelas bila sejarah tasyri’-nya yang terbagi menjadi empat fase ditelusuri:

  1. Fase di Makkah sebelum hijrah. Nabi Muhammad SAW secara pribadi telah berpuasa Asyura’ tanpa memerintakan satupun sahabat melakukannya. Dan memang periode Makkah orientasi utamanya adalah penanaman Aqidah.
  2. Fase ketika beliau pertama kali menginjakkan kaki di Madinah. Beliau mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa Asyuro untuk memperingati kemenangan Nabi Musa AS atas Fir’aun, maka beliau bersabda, “Aku lebih berhak terhadap kemenangan Nabi Musa daripada kalian, wahai orang-orang Yahudi.” Lalu beliau perintahkan sahabat untuk berpuasa Asyuro. Menurut Ulama’ Ushul Fiqih, suatu perintah bila tidak mengarah kepada Sunnah berarti wajib. Dengan demikian, puasa yang diwajibkan pertama kali dalam Islam adalah Puasa Asyuro. Hal ini diperkuat bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang dari Bani Aslam untuk mengumumkan:

“Barangsiapa telah makan, maka berpuasalah (di sisa harinya), dan barang siapa belum makan, maka berpuasalah, karena hari ini hari Asyuro.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hari Asyuro adalah momentum yang tepat sekali untuk bertaubat dan kembali kepada Allah SWT, membaca istighfar (berharap ampunan) itulah intinya. Tidak sekedar membacanya di lisan, namun menerapkan/melaksanakan dalam kehidupan nyata. Demikianlah dahulu dilakukan oleh Nabiyullah Adam AS, Nabiyullah Nuh AS, Nabiyullah Musa AS, dan Nabiyullah Yunus AS. Istighfar sendiri dimaklumi memilikii dua dimensi: dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal yakni dengan mengakui segala kesalahan yang berkaitan dengan keteledoran kepada Allah SWT.

Sedangkan dimensi horizontal erat kaitannya dengan mengakui segala kesalahan yang dilakukan kepada sesama manusia berikut lingkungannya. Seandainya semua unsur Masyarakat melakukan istighfar dengan dua dimensi ini, bukankah akan melenyapkan sebagian besar dosa-dosa tindakan maksiat yang akan menghancurkan dirinya?

Amalan-amalan lain yang utama dilakukan di hari Asyuro adalah:

  1. Memberikan nafkah yang lebih banyak daripada biasanya bagi suami kepada istrinya,
  2. Bersedekah,
  3. Mengasihi anak yatim.

Akhirnya melihat keutamaan di atas bisa jadi hari Asyuro merupakan salah satu dari hembusan-hembusan (nafahat) Allah Ar-Rahman, maka hendaklah hembusan itu disambut dengan perasaan gembira dan niat sungguh-sungguh (shidqun niat). Sebab, barang siapa yang mendapatkan hembusan itu, maka ia tidak akan celaka selamanya (HR. Thabrani).

Istighfar Hari Asyuro

Sumber: Buku Risalah dan Istighfarot Asyuro, karya KH. M Ihya’ Ulumiddin. Diterbitkan oleh Yayasan Persyada Al-Haromain tahun 2018/1440 H.

×